Masih jelas ingatan ku kala itu. Masa dimana matahari condong ke arah barat, dua jam sebelum terbenam. Anak-anak riang bermain di sekitaran masjid. Ada yang berlari-lari, bermain karet, atau hanya duduk-duduk manis dan bersanda gurau bersama temannya. Aku lebih memlilh untuk memanjat menara mesjid bersama ketiga teman ku.
Dari menara tersebut napak hirup-pikuk kehidupan pada umumnya. Ada yang memposisikan diri sebagai penjual begitu pun sebaliknya memposisikan diri sebagai pembeli, ada yang berjalan dan bertemu yang ia kenal lalu menyapanya sehingga mereka pun saling menyapa, dan semua yang ku lihat nampak kecil di mata ku.
Berselang tak berapa lama, anak-anak yang lain dengan tergesa-gesa masuk ke dalam mesjid. Bukan tanpa alasan, itu karena rutinitas mereka kembali dimulai. Sedangkan aku, masih bertahan di menara masijid itu, lima kaki dibawah puncak menara. Megang erat tiang-tiang yang catnya mulai mengelupas dan sedikit berkarat, namun masih kokoh untuk menopang.
Entah dari mana munculnya, hadirlah sebuah sosok tepat dibawah kaki ku. Dia pun berucap "
ayu masuk, udah istirahatnya!". Tanpa adanya pemaksa dan tanpa pemberontakan, kaki ini menitih mencoba untuk berada lebih rendah kemudian semakin rendah dan akhrinya berada di bawah menara tersebut. Kami berdua pun bergegas masuk kedalam mesjid, dan aku pun membaca beberapa lembar buku berwarna biru muda, bertuliskan Buku Iqra 3. (Cimahi, 1996)