Senin, 30 September 2013

Kicau Ku dan Dia (with Mira Pramesta)

dalam diam
tersirat berjuta tanya
terbersit beribu praduga
akan sebuah pertanda
 atau mungkin fatamorgana?

sulit bagi ku untuk menerka
seolah ada tabir pembatas
hingga ku hanya dapat mereka
mereka dan mereka dengan sejuta asa
melabungkan rasa entah kemana

hingga aku lelah
tanpa ada sedikit pun daya
nyali pun nyaris terkikis
terhempas gelombang kebimbangan

hingga akhirnya aku tersadar, diamku harus bertepi
kini saatnya ku harus mengadu pada mu
bahwa tanpa kamu itu sunyi
dan tanpa mu ku tak nyata

Minggu, 08 September 2013

Arti Hadir Ku dan Hadir Mu

Menurut mu, apa itu pelarian?
Apakah sebuah istilah peralihan ketidakbisamenerimaan akan kenyataan
Apakah kau merasa sebagai pelarian?
Bila iya, buang jauh paradigma tersebut
Karena bagi ku hakikat keberseamaan yaitu untu saling menyelamatkan
Hadirmu menyelamatkan ku dari kesemuan
Dan ku harap hadirku dapat menyelamatkan mun dari segala keresahan 

Pengaduan

Mungkin aku pengecut yang menghindar
Mungkin pula aku tak punya nyali sehingga mengelak
Sampai pada akhirnya aku tak bisa berkelit
Berkelit dari rasa ketakutan
Ketakutan akan luka
Luka yang membuat ku tersungkur dan untuk menengadahkan kepala pun sulit
Malam pun seolah menjadi musuh besar
Karna malam hanya menjanjikan fantasi ketidakpastian 
Dan siang pun enggan memihak
Karna tubuh ini tak ada lagi daya tuk bergerak
Oh tuhan, hamba harus bagaimana?
Bila kau mengizinkan ku membuat satu permintaan
Tolong hapuskan ceritanya dari ingata ku


Rabu, 04 September 2013

Senja di Menara Mesjid


Masih jelas ingatan ku kala itu. Masa dimana matahari condong ke arah barat, dua jam sebelum terbenam. Anak-anak riang bermain di sekitaran masjid. Ada yang berlari-lari, bermain karet, atau hanya duduk-duduk manis dan bersanda gurau bersama temannya. Aku lebih memlilh untuk memanjat menara mesjid bersama ketiga teman ku.

Dari menara tersebut napak hirup-pikuk kehidupan pada umumnya. Ada yang memposisikan diri sebagai penjual begitu pun sebaliknya memposisikan diri sebagai pembeli, ada yang berjalan dan bertemu yang ia kenal lalu menyapanya sehingga mereka pun saling menyapa, dan semua yang ku lihat nampak kecil di mata ku.

Berselang tak berapa lama, anak-anak yang lain dengan tergesa-gesa masuk ke dalam mesjid. Bukan tanpa alasan, itu karena rutinitas mereka kembali dimulai. Sedangkan aku, masih bertahan di menara masijid itu, lima kaki dibawah puncak menara. Megang erat tiang-tiang yang catnya mulai mengelupas dan sedikit berkarat, namun masih kokoh untuk menopang.

Entah dari mana munculnya, hadirlah sebuah sosok tepat dibawah kaki ku. Dia pun berucap "ayu masuk, udah istirahatnya!". Tanpa adanya pemaksa dan tanpa pemberontakan, kaki ini menitih mencoba untuk berada lebih rendah kemudian semakin rendah dan akhrinya berada di bawah menara tersebut. Kami berdua pun bergegas masuk kedalam mesjid, dan aku pun membaca beberapa lembar buku berwarna biru muda, bertuliskan Buku Iqra 3. (Cimahi, 1996)